Sinopsis
… sebuah desa, satu-satunya fasilitas
buang air besar yang sehat di desa itu adalah sebuah WC Leher Angsa
milik kepala desa, disana seluruh penduduknya buang air besar di kali.
Dan di desa itu ada seorang bocah lelaki cerdas yang gemar membaca.
Karena dengan gemar membaca, ia jadi mengerti banyak hal. Ia bernama
Aswin.
Aswin memiliki tiga teman karib, satu
kelas di sekolah. Johan, Sapar dan Najib. Sapar kurus dan ceking anak
orang miskin. Johan penuh percaya diri dan anak seorang seniman biola
sangat santun dalam berbicara, sedangkan Najib bertubuh besar dan kuat,
dan sangat menyukai olahraga.
Aswin kehilangan ibunya ketika sebuah
pesawat latih ringan jatuh menimpa sang ibu yang sedang bekerja di
ladang. Mestinya saat itu giliran ayahnya, Pak Tampan yang bekerja di
ladang, tapi sang ayah lebih memilih pergi menyabung ayam. Sudah
kehendak Tuhan kata sang ayah, tapi Aswin tak menerima dan tak mengerti.
Sejak saat itu Aswin jadi tidak suka kepada ayahnya.
Segera Aswin mendapat ibu baru, Aswin
menyukai ibu barunya. Dan karenanya merasa kasihan melihat ibu barunya
yang tak terbiasa buang air besar di kali. Aswin meminta ayahnya untuk
membuatkan ibu barunya sebuah WC leher angsa seperti milik kepala desa.
“Nanti ibumu akan terbiasa”, kata ayahnya. Ditambah dengan keinginan
memiliki sepeda yang tak pernah dipenuhi ayahnya, Aswin semakin tidak
suka pada ayahnya.
Persoalan si miskin Sapar membuat Aswin
sedikit melupakan persoalan dengan orang tuanya. Sapar bisulan di
bokongnya dan karenanya ia tak masuk sekolah. Persoalan bisul menjadi
persoalan penting yang harus dipecahkan agar Sapar bisa masuk sekolah
kembali. Bisul akan sembuh kalau sudah pecah. tapi sebelum pecah ia
harus matang dulu. Sepertinya bisul di bokong Sapar sudah matang, tapi
kok tidak pecah-pecah?
Johan adalah anak yang penuh percaya
diri dan selalu mencari kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya
bermain biola. Tapi permainan biola Johan menjadi momok yang menakutkan
bagi teman-temannya. Karena suara yang dihasilkannya amat mengerikan.
Melengking memekakkan dan menyayat genderang telinga.
Tapi Aswin yang cerdas melihat potensi
permainan biolanya Johan. Maka Aswin menyuruh Johan memainkan biolanya
di hadapan Sapar. Sapar yang bisulan parah ‘menari-nari’ kesakitan
karena tidak tahan mendengar lengkingan biolanya Johan dan lalu setelah
usai merasa lega dan tak sadar menduduki bisulnya. Bisul itu pecah dan
kemudian sembuh.
Aswin merindukan ibunya yang telah
tiada, meskipun ada ibu baru yang baik hati. Dan ayahnya, Pak Tampan,
terkena kutukan – paling tidak itu pikiran Aswin – tumbuh bisul di
bokongnya. Sudah tentu Pak Tampan yang pelit tidak mau berobat ke dokter
atau puskesmas. Bisul itu akan sembuh dengan sendirinya, pikirnya. Tapi
ternyata tidak.
Tak mau panjang lebar berdebat dengan
anaknya, Pak Tampan mengakui saja kesalahannya, dan berjanji akan
membuat WC leher angsa di rumah. “Tapi bagaimana dengan bisulku ini?”
tanya Pak Tampan.
Pengalaman memecahkan bisulnya Sapar
dengan biolanya Johan dipakai Aswin untuk menteraphi bisul ayahnya.
Terapi biola memang membuat bisul itu pecah.
Pak Tampan sembuh dan ia menepati
janjinya membuatkan WC leher angsa di rumah. Bertahun-tahun kemudian
semakin banyak orang di desa itu yang membuat fasilitas buang air besar
di rumah. Namun tetap saja masih ada satu dua orang yang tetap buang air
besar di kali yaitu mereka yang hanya merasa nyaman buang air besar
bila bokongnya terendam air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar